Jumat, 21 Desember 2012

Sekolah Itu Candu, Inikah Solusinya?



OPINI | 17 March 2010


Melihat judul di atas jangan diartikan bahwa sekolah tempat peredaran candu, meski sekarang marak terjadi di sana. Jangan pula ditafsirkan sebagaimana ungkapan Karl Marx bahwa agama itu candu, sangat jauh berbeda pengertiannya. Judul tulisan ini saya serupakan dengan judul buku fenomenal karangan Roem Topatimasang, buku yang melahirkan perang batin saya sejak lama. Buku terbitan Pustaka Pelajar itu telah menginsipirasi kami dulu - anak-anak SMA nan polos- untuk turut serta menyumbang buah pikiran semampunya. Sebuah buku yang sangat mencerahkan, hampir selalu dijadikan rujukan acara bedah buku di sekolah-sekolah. Dan yang pasti, belum terpikir oleh satu orang pun sebelumnya.




Penulis buku "Sekolah Itu Candu" (foto google)



Penulisnya, Roem Topatimasang hanyalah seorang pria kampung asli Masamba, Makassar yang dilahirkan pada 20 Mei 1958. Saat mudanya dia memilih hijrah ke Pulau Jawa dan terdampar di Bandung Jawa Barat lalu drop out dari Sekolah Guru (IKIP Bandung, 1980). Setelah keluar dari penjara –dia aktivis mahasiswa angkatan 78- Roem mulai aktif di dunia pendidikan dan pengorganisasian masyarakat. Di tengah-tengah menjadi guru jalanan selama 30 tahun di Jawa dan terutama di Indonesia Timur, dia masih menyempatkan menulis, memproduksi foto dan film. Semuanya didedikasikan untuk sebuah upaya transformasi sosial, bukan dengan cara revolusi. Tanpa revolusi pun, Roem tetap saya nilai sebagai seorang tokoh pembebas. Sayang, dia tidak pernah diangkat menjadi Menteri Pendidikan.

***

Jika saat ini kita ditanya, apakah yang ada dalam benak kita jika mendengar istilah sekolah, pelajar, mahasiswa, guru, dosen, pencabulan, tawuran, atau bentrokan berangkali? Tepat, semua itu bercampur baur dalam satu istitusi bernama sekolah. Stigma sosial bahwa istitusi dan hasil produknya juga belum menunjukkan pergerakan yang positif. Beberapa istilah tersebut seolah saling terkait antara satu dengan lainnya. Meski statistiknya tidak banyak, namun karena pemberitaan media yang gencar, akhirnya stigma itu melekat hingga sekarang.



Apa permasalahannya? Yang pasti bukan dana, titik. Sejak tahun 2005 hingga 2010 ini, pertumbuhan anggaran pendidikan untuk seluruh kementrian sangat mencengangkan. Jika 2005 anggaran yang tersedia hanya Rp 33,40 triliun atau 8,1 persen dari APBN, untuk tahun 2010 ini mencapai Rp 209,54 triliun atau sesuai ambang batas yang ditetapkan undang-undang yakni 20 persen dari total APBN. Dana itu termasuk juga untuk bantuan ke Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) di seluruh pelosok negeri. Lihat tulisan saya sebelumnya Grafik Anggaran Pendidikan 2005–2010. Untuk anggaran pendidikan di Kementerian Pendidikan Nasional saja mencapai Rp 51,8 triliun. Terbesar dibanding kementerian lain. Lihat di sini.



Mengapa saya berani mengatakan anggaran pendidikan tidak berbanding lurus dengan mutu pendidikan? Sangat kentara, kualitas pendidikan Indonesia berada di urutan ke-160 dunia dan urutan ke-16 di Asia. Bahkan secara rata-rata, Indonesia masih berada di bawah Vietnam, apalagi jika dibandingkan dengan Malaysia atau Singapura.



Proses pendidikan yang tidak tertata dengan baik juga menjadi penyebab outputnya juga kurang berkualitas. Menurut laporan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk bidang pendidikan, United Nation Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO), yang dirilis pada tanggal 29 November 2007 menunjukkan peringkat Indonesia dalam hal pendidikan turun dari 58 menjadi 62 dari 130 negara di seluruh dunia. Indikasinya, Education Development Index (EDI) Indonesia adalah 0.935, di bawah Malaysia (0.945) dan Brunei Darussalam (0.965). Lihat.




Persoalan kesiapan Sumber Daya Manusia pengelola dana itu juga dipertanyakan. Sejauh pantauan saya berkunjung ke daerah-daerah, kucuran dana yang melimpah dari APBN untuk lembaga-lembaga pendidikan di sana berupa Dana Alokasi Umum (DAU) untuk APBD, dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan dana-dana yang jumlahnya diluar perkiraan pejabat Pemda, sangat mengecewakan pengelolaannya. Silahkan pembaca cari di google, penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dan berita penahanan kepala Dinas Pendidikan beserta jajarannya terkait kasus tersebut saya rasa sangat mudah ditemukan.



Yang jelas, justru karena gelontoran uang tersebut, banyak kepala sekolah menjadi tidak tenang. Hidupnya selalu menjadi incaran empuk pihak Kejaksaan Agung, maklum setiap Kejaksaan Negeri di tiap kabupaten/kota ditargetkan minimal tiga kasus korupsi harus diungkap. Kebijakan yang dikeluarkan Jaksa Agung Hendarman Supanji ini cukup aneh, “Kasus kok dicari-cari”, begitu komentar orang-orang daerah yang sering saya jumpai. Sebagai contoh simpel penyimpangan itu misalnya dana BOS dipakai untuk membeli seperangkat televisi beserta jaringan teve kabelnya. Hmmmm…

***



Memang tidak mudah mengelola sebuah institusi bernama sekolah.



Istilah sekolah selalu dilekatkan kepada suatu sistem, suatu lembaga, suatu organisasi besar dengan segenap kelengkapan perangkatnya. Istilah ini dulunya belum dikenal oleh manusia, karena sebelum istilah ini terlembaga laupun sudah terlembaga manusia belum membutuhkan kehadirannya. Dalam sejarah, ketika manusia sudah tidak mampu dan memiliki waktu untuk mentransformasi nilai-nilai hidup dan pengetahuan kepada anak-anak mereka, maka manusia mulai membutuhkan bantuan dari manusia lain. Bantuan ini kemudian termanifestasi dalam scola in loco (lembaga pengasuhan anak pada waktu senggang di luar rumah, sebagai pengganti ayah dan ibu) yang sebelumnya berbentuk scola matterna(pengasuhan ibu sampai usia tertentu). Demikianlah Roem memulai tulisannya dalam buku Sekolah Itu Candu.


Sebuah buku usang yang 'menyengat' (foto koleksi)





Dalam epilog untuk buku ini, Roem menulis tentang Sukardal -tokoh rekaan- yang berdialog dengan seorang profesor mengenai sekolah. Mereka pun berdiskusi dengan beberapa warga mengenai apa yang akan mereka jadikan sekolah. Di akhir pembicaraan Sukardal mengajak warga lain untuk pergi ke sekolah dimana mereka bisa menyilangkan jenis labu untuk menghasilkan labu baru. Ya, sekolah itu adalah lahan pertanian karena Sukardal memang seorang petani. Petani yang bersekolah dengan bergelut bersama realitas dan mendapatkan pengetahuan dari sana, bukan sebaliknya mendapatkan pengetahuan di kelas dan juga mendapatkan pengetahuan bahwa realitas acapkali bertentangan dengan apa yang diajarkan di kelas. Maka tak salah, dalam salah satu tulisannya Roem menuliskan bahwa sekolah itu candu yang membius masyarakat, membuat orang terlena dengan kenyataan yang sudah parah.



Pada halaman-halaman sebelumnya kita diajak untuk memikirkan kembali kondisi pendidikan (baca: persekolahan) kita. Walaupun ditulis pada tahun 1998, tulisan-tulisan Roem masih memiliki relevansi dengan kondisi kekinian. Ditulis dengan bahasa ringan namun akhirnya dahi kita berkerut juga. Apalagi melihat beberapa referensi yang dijadikan sebagai rujukan dan inspirasi dalam penulisan buku ini.



***



Apa kita hanya akan berpangku tangan dan menghujat institusi sekolah tanpa memberi solusi?



Sangat naif seandainya kita hanya mengumpat dan mencerca para pendidik, pihak sekolah, atau pun pembuat kebijakan. Banyak solusi yang sebenarnya bisa menjadi referensi bagi mereka guna mengoptimalkan dana rakyat sebesar Rp 51,8 trilun itu, belum yang berada tersebar di seluruh kementerian yang mencapai Rp 209,54 triliun.



Alexander Sutherland Neill, seorang psikolog asal Skotlandia, hidup antara tahun 1883-1973, pernah mengarang sebuah buku yang menurut saya sangat mencerahkan. Sebuah jawaban atas buku Roem di atas. Edisi Bahasa Indonesianya yang berjudul Summerhill School: Pendidikan Alternatif yang Membebaskan saya rasa bisa dijadikan rujukan atau studi kasus untuk Kementerian Pendidikan Nasional yang kini dinahkodai Bapak Menteri Muhammad Nuh.







Buku itu mengisahkan tentang sebuah sekolah percobaan lepas dari kungkungan kurikulum dan ujian nasional yang selalu menjadi momok bagi peserta didik. Bermula dari sekolah percobaan, kini sekolah yang memberikan kebebasan penuh pada anak tersebut menjadi sekolah pembuktian. Awalnya dari ide yang sangat sederhana, bagaimana membuat sekolah yang cocok dengan anak-anak, bukannya anak-anak yang harus cocok dengan sekolah.



Sekolah yang didirikan Alexander Sutherland Neill pun membebaskan anak-anak untuk menentukan apa yang mereka mau. Mereka membuang jauh-jauh ketertiban, arahan, anjuran, pengajaran moral, dan pengajaran agama. Sayangnya untuk kategori terakhir ini, perlu dikaji ulang jika ingin diterapkan di Indonesia mengingat mayoritas penduduknya masih memegang teguh keyakinan beragama, baik Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan lainnya.



Di sekolah ini, anak-anak bebas memilih pelajaran yang akan mereka ikuti. Bahkan bagi anak yang baru masuk ke sekolah “sesukamu” itu, mereka bebas bermain sepanjang waktu, berhari-hari, bahkan bertahun-tahun.



“Kami dianggap berani dengan ide ini, padahal tak dibutuhkan keberanian apa pun,” ujar Neill. Yang dibutuhkan hanyalah keyakinan penuh bahwa anak-anak adalah makluk yang baik dan bukan makhluk jahat. “Kami meyakini sepenuh hati,” tambah Neill. Keyakinan Neill tak pernah surut, sejak sekolah didirikan hingga saat ini.

Neill sangat memahami, butuh waktu bagi anak untuk menjadi dirinya sendiri setelah begitu tertekan dari sekolah “normal”. Panjang pendek masa penyembuhan ini tergantung pada seberapa besar kebencian yang ditanamkan oleh sekolah “normal” ke dalam diri mereka. Seorang anak TK yang pindah ke Summerhill akan mudah menyesuaikan diri dengan keadaan baru di sekolah tersebut. Tetapi makin bertambahnya umur anak, semakin lama waktu penyembuhan yang mereka lakukan. Bisa jadi mereka bersumpah tidak akan pernah mau lagi mengikuti pelajaran “terkutuk” yang selama ini mereka dapatkan dari sekolah lamanya.

Bagi Neill, pelajaran bukanlah sesuatu yang penting. Aktivitas belajar tidalah sepenting kepribadian dan karakter. Jack, salah satu siswanya, tidak lulus masuk ujian perguruan tinggi karena dia membenci buku. Tetapi ketidaktahuannya tentang pelajaran tidak menghalangi hidupnya. Jack tumbuh menjadi seorang yang sangat percaya diri.

Tes yang dilakukan di kelas pun sangat iseng. Pertanyaannya, di manakah Pulau Buru, obeng, demokrasi dan kemarin? Tak butuh jawaban. Tetapi anak yang baru saja masuk tidak memberikan jawaban seperti jamaknya anak-anak yang sudah lama di Summerhill. Bukan mereka bodoh, tetapi karena sudah terbiasa dalam rimba keseriusan, padahal bagi anak-anak yang sudah lama di Summerhill, justru keisengan ini yang dinantikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar