Jumat, 21 Desember 2012

G-30-S , LANGKAH AWAL, REZIM SOEHARTO



“Aksi G-30-S adalah riak kecil di tengah Samudera besar revolusi Indonesia” Ir. Soekarno

Sampai tahun 1965, kedudukan Soekarno sebagai presiden tidak tergoyahkan. Soekarno adalah satu-satunya pemimpin nasional yang paling terkemuka selama dua dasawarsa lebih, yaitu sejak ia bersama pemimpin Nasional lain, Mohammad Hatta, pada 1945 mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Ia satu-satunya presiden negara-bangsa baru, Indonesia. Dengan karisma, kefasihan lidah, dan patriotismenya yang mengelora, ia tetap sangat populer di tengah-tengah semua kekacauan politik pasca kemerdekaan. Kemudian peristiwa G-30-S (gerakan 30 September 1965) merubah segalanya, menandari awal berakhirnya masa kepresidenan Soekarno sekaligus bermulanya masa kekuasaan Suharto.



Pada dasarnya G-30-S merupakan suatu peristiwa yang relatif berskala kecil di Jakarta dan Jawa Tengah yang sudah berakhir paling lambat 3 Oktober 1965, bersifat tertutup, dan masyarakat umum hampir tidak mempunyai pengetahuan langsung mengenainya. Secara keseluruhan G-30-S telah membunuh 12 orang. Jika bagi Presiden Soekarno aksi G-30-S itu sendiri disebutnya sebagai “riak kecil di tengah Samudera besar revolusi Indonesia”, sebuah peristiwa kecil yang dapat diselesaikan dengan tenang tanpa menimbulkan guncangan besar terhadap struktur kekuasaan, namun bagi Soeharto peristiwa itu merupakan tsunami pengkhianatan dan kejahatan yang menyingkapkan adanya kesalahan yang sangat besar pada pemerintahan Soekarno. Suharto menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) mendalangi G-30-S dan selanjutnya menyusun rencana pembasmian terhadap orang-orang yang terkait dengan partai itu, baik terlibat secara langsung maupun tidak langsung. Hanya rezim Suharto saja yang seolah-olah mampu melihat kebenaran peristiwa tersebut. Sehingga sekarang peristiwa G-30-S lebih dikenal dengan sebutan G-30-S/PKI.

Bagi kalangan sejarawan, G-30-S tetap merupakan misteri. Versi rezim Suharto –bahwa G-30-S adalah percoban kudeta PKI- tidak cukup meyakinkan. Sukar dipercaya bahwa partai politik yang beranggotakan orang sipil semata-mata dapat memimpin sebuah organisasi militer. Bagaimana mungkin orang sipil dapat memerintah personil militer untuk melaksanakan keinginan mereka? Bagaimana mungkin sebuah partai yang terorganisasi dengan baik, dengan reputasi sebagai partai yang berdisiplin tinggi, merencakan tindakan amatiran semacam itu? Mengapa partai politik dengan pendukung tiga juta orang lebih yang sedang tumbuh kuat di pentas politik terbuka memilih aksi konspirasi? Ada dua pertanyaan yang kontradiksi disini mengenai siapa yang mendalangi G-30-S tersebut, apakah para perwira militer itu bertindak sendiri, sebagaimana yang mereka nyatakan, dan kemudian mengundang atau bahkan menipu beberapa tokoh PKI agar membantu mereka? Ataukah, justru PKI yang menggunakan sementara perwira militer ini sebagai alat pelaksana rencana mereka, sebagaimana yang dikatakan Suharto?

G-30-S dikenal dengan tujuannya yakni melakukan kudeta, merebut kekuasaan negara. Namun, gerakan 30 september tidak mempunyai perlengkapan yang hampir selalu dipakai oleh para perancang kudeta di sepanjang paruh waktu abad ke 20 : tank. Seluruh kekuatan G-30-S terdiri dari tentara infanteri bersenjata. Jumlah tentara yang terlibat pun sangat kecil jika dibandingkan dengan seluruh jumlah pasukan yang ada di dalam kota. Dari sudut kekuatan militer, G-30-S jelas tidak cukup menggentarkan untuk dapat mengalangi pasukan lawan yang menyerangnya,apalagi sampai melakukan kudeta. Jika tujuan mereka adalah kudeta, mereka seharusnya mengepung atau menduduki markas besar (seperti Kodam Jaya dan Kostrad Jakarta), dan menempatkan detasemen-detasemen dekat pemusatan-pemusatan barak-barak militer utama. Mereka juga seharusnya sudah membangun pos-pos pemeriksaan di jalan menuju Jakarta untuk menghalangi pasukan-pasukan dari luar kota memasuki kota. Semuanya tidak mereka lakukan. Jadi, mengingat jumlah pasukan yang terlibat kecil, penyebaran pasukan yang tidak berpengaruh, dan tidak ada tank , G-30-S tampaknya tidak dirancang untuk merebut kekuasaan negara, gerakan ini tampak dirancang sebagai pemberontakan para perwira muda terhadap sekelompok perwira senior.

Kontradiksi dengan pernyataan-pernyataan di atas. Pada film buatan pemerintah dengan judul “Penghianatan Gerakan 30 September/PKI” (1984), diceritakan bahwa para organisator G-30-S sebagai sekumpulan konspirator-konspiratir licik yang kejam yang merencanakan setiap gerak-geriknya sampai seluk-beluk terakhir, yang tujuannya adalah merebut kekuasaan negara. Film sepanjang empat jam yang melelahkan ini juga bercerita mengenai penculikan dan pembunuhan tujuh perwira Angkatan Darat di Jakarta yang menjadi tontonan wajib setiap tahun bagi anak-anak sekolah dulu. Film ini diputar pada malam hari sebelum tanggal 1 oktober dan semua stasiun pemerintah diwajibkan menyiarkan film buatan pemerintah ini. Selain film, pemerintahan Suharto membangun Monumen Pancasila Sakti pada tahun 1969 dan Museum Penghianatan PKI pada tahun 1990. Di bawah Suharto, antikomunisme menjadi agama negara, dengan segala situs, upacara, dan tanggal-tanggalnya yang sakral. Rezim Suharto terus menerus menanamkan peristiwa itu dalam pikiran masyarakat melalui semua alat propaganda negara : buku teks, monumen, nama jalan, film, museum, upacara peringatan, dan hari raya Nasional.

Gerakan 30 September dilihatnya sebagai tembakan salvo pembuka dari PKI untuk revolusi sosial. Dalam membangun ideologi pembenaran bagi kediktatorannya, Suharto menampilkan diri sebagai juru selamat bangsa dengan menumpas G-30-S. Catatan resmi tidak pernah menyebut pembunuhan massal. Dalam memoarnya Suharto menulis bahwa strateginya adalah “pengejaran, pembersihan, dan penghancuran”. Ia tidak memberi tahu pembaca bahwa ada orang yang tewas pada film itu. Namun, telah ditemukan dua surat kabar Amerika Serikat yang menyatakan bahwa sampai pertengahan 1966 telah terjadi pembunuhan massal sekitar 500.000 orang yang dimulai sejak meletusnya G-30-S PKI.

Suharto menggunakan G-30-S sebagai dalih untuk merongrong legitimasi Soekarno, sambil melambungkan dirinya ke kursi kepresidenan. Pengambil alihan kekuasaan oleh Suharto secara bertahap, yang dapat disebut sebagai kudeta merangkak, dilakukannya dibawah selubung usaha untuk mencegah kudeta. Kekerasan yang terjadi pasca G-30-S memiliki tujuan untuk membangun sebuah rezim baru, ketimbang reaksi wajar terhadap G-30-S. Suharto dan para perwira tinggi Angkatan Darat lainnya menggunakan G-30-S sebagai dalih untuk menegakkan kediktatoran militer di negeri ini. Mereka perlu menciptakan keadaan darurat nasional dan suasana yang sama sekali kacau jika hendak menumbangkan seluruh generasi kaum nasionalis dan menyapu bersih cita-cita kerakyatan presiden Soekarno. Akhirnya Maret 1967, setelah satu setengah tahun Soekarno kehilangan kekuasaan efektifnya, Suharto naik ke tampuk kekuasaan menjadi presiden Republik Indonesia.

Sumber :

John Roosa. 2008. Dalih Pembunuhan Massal : Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta : Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar